Malam itu turun gerimis, bulan mengendap-endap di balik awan tipis-tipis. Ia mengingat-ingat kembali mimpi-mimpinya, kali ini lebih pelan, ia mencoba menghafal satu-satu wajah-wajah yang ia temui di sana, ia perhatikan dengan seksama. Senyumnya tersungging, sedikit saja di sudut bibirnya, sebelah kiri. Ia mengenang apa-apa saja yang masih bisa ia ingat, terakhir, sebelum ia mati, katanya. Ia sudah siap.
Malam itu jadi malam paling khusyuk yang lain— sebelumnya ia pernah serius meminta satu; doa yang ia harap menjelma anak panah; mimpi paling tajam yang menembus kepalanya berhari-hari; keyakinan yang hidup di dadanya ribuan hari— kini sebuah pelita yang hampir padam.
Dadanya sebelah kiri mulai nyeri, pikirnya; sudah waktunya. Ia menutup mata, membayangkan mimpinya sekali lagi. Ia belum mau pisah dengan mimpinya yang paling keras kepala itu; mimpinya yang paling belati. Penglihatannya mulai gelap. Pendar-pendar mulai pudar. Ia berjalan ke entah apa, paling gelap.
Jauh dan lama sekali.
hitam yang kian pekat.
Di saku kirinya tiba-tiba menyala pelita berwarna jingga, tidak begitu terang, tapi cukup untuk sebuah perjalanan paling gelap. Ia berdoa, sekali lagi; jika ia mesti pergi sekarang, ia ingin doanya terus menyala, paling tidak padamu; yang pernah ia ceritakan mimpinya dengan begitu jelas. Itu doa kebahagian, yang semoga terus lekat dan menyala.
Selepas berdoa, ia akhirnya memeluk dirinya sendiri; orang yang paling kuat mencoba bertahan selama ini, yang paling keras kepala tidak mau menyerah, dan yang paling sendiri— sebab mulai jarang ia temui. Ia memeluk dirinya dengan sangat erat; berterimakasih untuk semua upaya dan kesabaran. Ia peluk lagi; sebagai sebuah maaf untuk usaha-usaha yang gagal, pun sebagai penerimaan; bahwa ia sudah berupaya, tapi Tuhan memang tidak bisa didikte.
Ya, sebuah kebenaran yang mesti ia akui; ia boleh minta apapun ke Tuhan, tapi tidak bisa minta untuk ia saja yang mengatur semua.
Ia tertunduk, menemukan keyakinan-keyakinannya hanya remah-remah, kekuatan paling besar yang mampu menggerakkan apapun, selalu kepunyaan Tuhan. Ia mendadak cemas sebab sering lupa itu, ia cemas sebab mesti ditampar keras dulu baru ingat; kecemasan-kecemasannya kemudian sampai di ujung tenggorokan, ia tercekak; lirih dan luruh— dalam hati ia berserah, tapi tubuhnya menyerah. Tubuhnya berubah bayang yang hilang sedikit demi sedikit. Ia kehilangan kesadarannya.
***