Senin, 29 Oktober 2018

B/Terserah - [part 1] Menunggu Mati

Pernahkah kamu merasa terlalu jauh dari mimpi-mimpimu? Bagaimana jika itu hanya bunga tidur yang kau bawa ke mana-mana ribuan hari?

Sebuah pertanyaan kini menggelantung di kepalanya, berulang-ulang, lebih cepat dari perputaran jarum jam di tangan kirinya. Pertanyaan itu memburu, lebih cepat dari detak jantungnya kini, tapi nafasnya pendek-pendek, ia tersengal-sengal memasuki mesin waktu yang dicipta kepalanya sendiri.

Di sana, ia tidak menemukan siapa-siapa, ia berlari menuju ilalang, tempat rahasia yang ia hafal betul. Sepucuk surat warna biru, diberi ibumu waktu itu, katanya "ini ada puisi untukmu". Kosong.  Barangkali puisinya bubar karena ngambek tidak langsung dibaca saat itu, ia buru-buru mengejar ibu, yang ditunggu kamu. 

Angin berhembus pelan, ia menunggu waktu bertemu, siapa tahu akan bertemu anak lelaki itu lagi, anak lelaki kesayangannya yang baru dua kali bertemu. Anak itu punya mata dan hidung persis punyamu.

Hingga sore menjelang, tidak kunjung datang. Tidak ada siapapun. Matanya masih mencari-cari, hingga ia terbangun dengan sebuah pemandangan berwarna oranye. Gamboge!! Rupanya ia kelelahan mencari, ia sampai tertidur menunggu sebuah datang.

Sebentar, siapa itu?

Anak perempuan dengan rambut sebahu, matanya sendu. Moya!! Ia berseru senang sambil setengah berlari ke arah Moya, tapi anak perempuan itu perlahan menghilang. Hari mulai gelap, dan tidak ada siapa-siapa, ia mulai kecewa. Sebaiknya aku kembali, katanya, dengan wajah tertunduk.

Mencari-cari jalan pulang. Belum sempat ketemu, kakinya kini sobek terkena belukar. Kakinya berdarah, ia terpaksa tinggal. Bulan menggantung di langit, juga matanya. Ia mulai berkaca-kaca, merasa tidak aman.

Ia lalu terhempas ke mimpi-mimpinya yang lain, perjamuan yang wangi, di tengah-tengah ada sepasang yang menari. Sekelebat sekelebat saja, hingga ia tiba ke sebuah taman dengan pohon rindang, di sana ada sepasang yang lain, anak-anak kecil. Laki-laki dan perempuan. 

Air matanya sudah sampai di pipi, orang-orang itu hanya ada di mimpinya, sedang kini ia sendiri, mencoba membalut lukanya dengan pucuk-pucuk ilalang, tidak ada yang membantu, tidak pula seorang teman untuk berbagi cerita atau kelakar bodoh tentang kelinci terjebak yang menunggu pagi. Pulang pagi.

Suara jangkrik tiba-tiba memecah keheningan, ia senang sekaligus sedih. Senang karena senyap itu kini pecah, tapi ia tetap mau pulang. Ia mulai bernyanyi, menghibur diri sendiri. Suaranya lirih, yang bising hanya jangkrik dan suara-suara di kepalanya.

***

Pagi bertemu pagi, malam ketemu malam, ia tak kunjung ketemu jalan pulang. Sial! Ia mulai kehabisan akal, berkali-kali ia mengumpat karena marah. Ia pikir ia akan mati di sini jika tak segera bertemu jalan pulang, luka di kakinya mulai infeksi, sakitnya sudah sampai di kepala. Ia pusing mau pulang.

Ia tidak berhenti, ia dicipta terlalu keras kepala dan keras hati untuk menyerah, tapi keberuntungan belum berpihak. Hari-hari mencari menjadi hari-hari yang lambat, dan dengan tidak ada siapa-siapa, satu-satunya yang paling mungkin adalah berdamai dengan diri sendiri— memeluk diri sendiri. Sayangnya, memeluk diri sendiri juga bukan perkara mudah ketika kamu merasa terlalu patah- terlalu banyak borok di hatimu; atau terlalu kehabisan tenaga mengejar apa yang terlalu kamu ingini.

Suara-suara itu muncul dari dalam, kian hari kian memekik. Setelah lelah memaki apa saja, ia sampai pada kepasrahan; siap menunggu mati. Ia menunggu mati. Baginya semakin kecil kemungkinan ia keluar dengan luka yang menjalar dan masih harus mencari jalan pulang, tanpa bantuan sesiapa.

*continued

Tidak ada komentar: